MEDIA LIGHT 17 - The Reality of Indonesian Media
Sulit bagi segelintir pemilik media Indonesia yang telah dibahas sebelumnya untuk
mengubah pendekatannya terhadap konten media. Lim (2012: 9) dalam penelitiannya mengatakan bahwa masalah
terbesar yang muncul saat ini adalah diversitas atau variasi konten. Saat ini,
65% sampai 80% konten televisi, bentuk media yang paling banyak diakses oleh
keseluruhan Indonesia, hanya merupakan konten hiburan dalam bentuk drama,
sinetron, komedi, talkshow, berita infotainment, dan seterusnya. Di sisi lain,
radio memiliki harapan untuk menjalankan diversifikasi konten, karena sifat
pasarnya yang lebih terbuka bagi saingan baru untuk masuk.
Media cetak seperti koran menjadi lebih
bervariasi setelah berakhirnya orde baru sebagai bagian dari demokratisasi pers
dan media, namun masing-masing memiliki sudut pandangnya tersendiri. Terlebih
lagi, sudut pandang dari kaum-kaum yang termarginalisasi jarang disorot, dan
hanya diangkat ketika ada berita yang sensasional, dengan framing yang salah.
Media online sekilas terlihat
telah memajukan demokratisasi media dengan memberikan jalan bagi masyarakat
untuk memberikan pendapat lewat blog, media sosial, petisi, forum, dan
seterusnya, namun pada kenyataannya sangat jarang ada yang mendengarkan
kritik-kritik masyarakat. Contoh akhir-akhir ini adalah permintaan untuk
menghentikan tayangan-tayangan tertentu yang tidak mendidik dan berisi
kekerasan, baik verbal maupun nonverbal, di televisi.
Lalu, bagaimana tindakan
Indonesia terhadap masalah konglomerasi media ini? Untuk mengawali, sudah ada
hukum dan perundang-undangan mengenai kepemilikan media. Lebih tepatnya lagi,
UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002
ayat 1, pasal 18 menyebutkan bahwa “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan
lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu
wilayah siar maupun beberapa wilayah siar, dibatasi”. Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2005 telah
memberikan sejumlah aturan bagi kepemilikan media dan pembatasan hak milik
silang antar bentuk media.
Namun, terlihat jelas dalam praktiknya sekarang ini,
aturan-aturan tersebut sama sekali tidak terlaksana. Media hanya dimiliki oleh
sejumlah kelompok yang dapat dihitung dengan jari. Padahal, hukum adalah salah
satu faktor yang kekuatannya dapat membatasi kewenangan media. Jane Kirtley
dalam handbook Media Law mengatakan
bahwa “Censorship—government-imposed
restraint on freedom of speech and expression—poses the greatest single threat
to a free press. … The government
demands accuracy in reporting news. But requiring accuracy only raises more
questions: What is truth? Who decides? The government?” (Kirtley, 2010: 9).
Penyensoran adalah pembatas terhadap kebebasan berekspresi yang diberikan oleh
pemerintahan, dan merupakan ancaman terbesar bagi pres bebas. Pemerintahan
menginginkan ketepatan dalam penulisan berita, namun ketepatan seperti apakah
yang dicari? Pihak pemerintahan dan hukum seharusnya menjadi penyaring bagi
pesan yang disampaikan media.
Seluruh
kasus di mana hukum diabaikan untuk membentuk sebuah konglomerasi media sendiri
dengan alasan bahwa ini merupakan bentuk demokratisasi pers dan media, dan
merupakan bentuk kebebasan berekspresi, berakar pada liberalisasi pers pasca
orde baru dan penggunaannya sebagai dasar pembentukan “demokrasi”. Hukum yang
seharusnya mengatur kegiatan media telah diabaikan dan mulai diragukan
keberadaannya, dan grup media yang terlahir atas asas demokratisasi pers justru
menggunakannya untuk bermacam-macam kepentingan, baik itu ekonomi maupun
politik.
Media merupakan alat yang efektif
dalam menyebarluaskan informasi atau mendapat keuntungan. Oleh karena itu,
media seringkali dimanfaatkan oleh pemiliknya untuk tujuan yang menguntungkan
mereka, bahkan sampai memanipulasi pesan media tersebut. Pasar yang besar juga
berarti besar potensi keuntungan yang didapat, dan media memenuhi syarat
sebagai pasar yang mencakup wilayah yang luas dan banyak orang.
Di
Indonesia, sampai sekarang masih muncul kasus-kasus dimana terdapat manipulasi
konten dari pihak pemilik media, yang kebanyakan juga memiliki kekuatan
politik. Di sisi lain pula, terdapat homogenitas konten media karena para
audiens memiliki demand untuk konten yang tergolong dangkal, seperti acara
infotainment, drama, dan sebagainya, dan oleh karena itu mereka membentuk
keinginan pasar, yang juga membuat pemilik media melihat pasar sebagai
kesempatan untuk menarik keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
Kirtley, J.
(2010). Media Law Handbook Series.
United States Department of States: Bureau of International Information Program
Lim, M. (2012). The League of Thirteen: Media Concentration
in Indonesia. Research report. Tempe, AZ: Participatory Media Lab At Arizone
State University.
McChesney, R.
(2004). The problem of the media: U.S.
communication politics in the Twenty-First century. New York: Monthly
Review Press.
McQuail, Denis.
(2009). Teori Komunikasi Massa.
Jakarta: Salemba Humanika.
Shoemaker, P
& Reese, S. (1996). Mediating the
Message. New York: Longman Publisher USA.
No comments: